Kamis, 10 April 2014

Syekh As-Suhrawardi

***********************************

Di jagat tasawuf, dikenal sebuah paham yang disebut “Isyraq”. Paham ini meyakini, Allah adalah Nurus Samawati wal Ardi (cahaya langit dan Bumi) sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 35. Dari Nur Allah itulah lahir cahaya-cahaya yang lain di alam semesta dan di jagat rohaniah. Paham ini juga dikenal sebagai paham Iluminatif (pencerah), dan terpengaruh oleh paham-paham Filsafat. Karena itu Prof. Dr. Hamka menyebutnya sebagai filsafat Isyraq.

Syekh As-Suhrawardi filsuf besar yang pertama kali mencetuskan paham Isyraq. Ada tiga sufi yang namanya mirip: Syekh As-Suhrawardi, Abu An-Najib As-Suhrawardi, dan Abu Hafs Syihabuddin As-Suhrawardi Al-Baghdadi, yang terakhir ini adalah pengarang kitab Awarif al-Maarif.

Syekh As-Suhrawardi yang nama aslinya Abul Futuh Yahya bin Habsyi bin Amrak, lahir di Suhrawardi, Zanda, Persia utara, pada 549 H / 1129 M. seperti Al-Hallaj, ia juga di bunuh oleh penguasa. Itu sebabnya ia dijuluki Al-Maqtul (yang terbunuh).

Syekh As-Suhrawardi lahir di lingkungan keluarga yang taat beribadah. Seperti halnya sufi atau ulama besar lainnya, sejak kecil ia juga belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Al-Qur’an dan fikih. Juga seperti sufi yang lain, catatan perjalanan kehidupannya sangat sedikit diketahui orang. Menurut pengamat sufi Mehdi Amin Razali, Suhrawrdi hidup di suatu zaman ketika muncul kebutuhan untuk menyatukan kembali ilmu pengetahuan Islam dengan memadukan berbagai mazhab. Ditengah perdebatan intelektual itulah muncul pemikiran Suhrawrdi tentang Isyraq, yang antara lain meyakini bahwa wacana filosofis merupakan bagian dari perjalanan spritual seseorang.

Dalam buku tokoh-tokoh sufi, tauladan dan kehidupan yang saleh, Prof. Dr. H. Ahmadi Isa MA, menulis, Suhrawardi terkenal sebagai pengembara yang gandrung menuntut ilmu. Ia berguru kepada sejumlah ulama dan pakar dalam berbagai ilmu pengetahuan. Di Marga Azarbaijan, Asia Tengah, ia belajar fikih dan filsafat kepada Syekh Majduddin Al-Jilli, seorang fukaha yang termasyhur kala itu. Di Isfahan, Iran, ia belajar Mantiq (logika) kepada Ibnu Shlan As-Sawi pengarang kitab Al-Basair An-Nasiriyah. Selain itu juga tercatat belajar filsafat India, Persia dan Yunani. Menurut seorang pengikutnya, pengetahuan Suhrawrdi sangat dalam, dan sangat menguasai ilmu hikmah alias filsafat dan fikih. Ia juga sangat fasih dalam ungkapan.

Syekh As-Suhrawrdi merintis perjalanan sufistisnya sejak bergabung dengan para sufi dalam kehidupan asketisnya. Beberapa tahun bergelut dengan ajaran-ajaran sufi, setelah itu ia mengembara mengunjungi sejumlah ulama dan pakar di Aleppo Damaskus, Anatolia, sampai ke Azarbaijan. Terakhir ia melakukan perjalanan ke Halb, belajar tasawuf kepada sufi besar As-Syafir Iftikharuddin.

Syekh As-Suhrawardi juga termasuk sufi besar yang produktif membukukan pikiran-pikirannya. Karya-karyanya yang dianggap monumental, antara lain, Hikmah al-Isyraq. Al-Muqawwamat dan Al-Mutaribat, salah satu kitab yang banyak diperbincangkan ialah Hikamh al-Isyraq. Memuat berbagai pandangannya perihal filsafat Isyraq atau Iluminatif. Karya-karyanya yang lain, rata-rata dalam sebuah kitab yang tipis, Hikayat An-Nur, Alwah wa Imadiyah. Partaw Nama, Fil I’tikad al-Hukama, Al-Lahamat, Bustan al-Qulub – sebagian besar di tulis dalam bahasa arab. Sementara karya-karyanya dalam bahasa Persia banyak dipuji sebagai karya sastra yang indah. Karya yang lain, diantaranya, Aqil Surkh, Awazi Par-I Jabarail, Al-Qissah Al-Ghurbah al-Gharbiyah, Lugati Muran, Risalah fil Hallah al-Tufuliyyah, Ruzi Ba Jamaah Sufiyan, Safir Simurg dan Risalah fi Mikraj.

Ada pula karya Syekh As-Suhrawardi, Risalah yang bersifat Filosofis, berupa terjemahan karya Ibnu Sina, berjudul Risalah Tayr, dan komentar mengenai karya Ibnu Sina dalam bahasa Persia, Isyraf wa Tanbihat. Juga sebuah risalah berjudul Risalah fi Haqiqah al-‘Isyq, didasarkan pada karya Ibnu Sina berjudul Risalah fil ‘Isyq. Ada juga karyanya yang memuat doa, dzikir, wirid, berjudul Al-Waridat wa Taqdisat.

Banyak pandangan As-Suhrawardi yang di ikuti para sufi, misalnya ucapannya yang terkenal, “Semua yang menyenangkan anda, seperti hak milik, perabotan dan kenikmtan duniawi, dan hal-hal yang serupa itu, lemaprkanlah. Jika resep ini anda ikuti, penglihatan anda akan tercerahkan.” Pandangan lain yang juga terkenal, “Ketika mata batin terbuka, mata lahir harus di tutup, bibir harus di kunci, dan lima indra lahir harus dibungkam. Indra batin hendaknya mulai berfungsi, sehingga jika ia mencapai sesuatu, melakukakannya dengan jasad batin, jika mendengar, dia mendengar dengan telinga batin.”

Salah satu peristiwa yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Syekh As-Suhrawardi ialah saat kematiannya. Ia meninggal di tiang gantungan dalam sebuah upacara pengadilan yang digelar oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, dari dinasti Bani Saljuk – gara-gara ajarannya dianggap sesat. Di tengah kemasyhurannya sebagai seorang ulama tasawuf dan cendikiawan, pendapat-pendapatnya memang sering memancing kontroversi. Seperti pandangan-pandangan Al-Hallaj maupun Junaid Al-Baghdadi, pendapat Suhrawardi sering dianggap menyimpang sehingga memancing polemik yang berkepanjangan.

Sebelum di adili, ia dipanggil oleh pangeran Zahir bin Salahuddin Al-Ayyubi untuk mempertanggung jawabkan ajarannya dalam forum debat terbuka yang dihadiri Teolog dan Fukaha. Dalam debat itu, ia berhasil mempertahankan argumentasinya, sehingga pangeran Zahir pun memaafkannya, bahkan belakangan bersahabat dengannya, tapi akibatnya hal itu memancing rasa iri dan dengki.

Maka berseliweranlah fitnah dan hasutan ke alamat Syekh Suhrawardi. Bahkan ada yang sempat yang mengirim surat ke Sultan Shalahuddin yang memperingatkan perihal “Kesesatan” ajaran Syekh As-Suhrawardi. Celakanya sang Sultan malah memerintakan Pangeran Zahir putranya, agar menghukum

Syekh As-Suhrawardi. Zahir segera menggelar sidang, membicarakan hukuman bagi sang sufi, keputusan pun jatuh: Suhrawardi di jatuhi hukuman pancung. Itu terjadi pada tahun 587 H / 1167 M. ketika Suhrawardi berusia 38 tahun. Mungkin karena ia korban persekongkolan politik, makamnya pun tidak diketahui.

Tapi, justru karena hukuman itu nama Syekh As-Suhrawardi semakin melejit, masyarakat menggelarinya dengan sebutan Al-Maqtul (tokoh yang terbunuh). Ia memang telah dibunuh, jasadnya telah dibuang, tapi pikiran-pikirannya yang cemerlang tetap hidup hingga kini, bahkan sepanjang zaman. 

www.samudra-aceh.blogspot.com

 

 

Antara Babi & Ayam - Kisah Para Aulia/Sufi

Tersebut dalam satu riwayat, pada suatu hari, Tuan Syeikh Imam Muhammad Abduh berkunjung ke suatu tempat di Perancis. Ketika penduduk disitu mendapat tahu kehadiran tokoh ilmuwan Islam ini, mereka mengundang beliau untuk menghadiri satu forum yang disertai oleh penduduk Islam dan bukan Islam disitu. 


Para penduduknya bertanya kepada tokoh ilmuwan Islam ini tentang rahsia diharamkan babi dalam Islam. 

Mereka berkata, "Umat Islam mengatakan babi itu haram kerana ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikrob-mikrob dan bakteria-bakteria lainnya. Namun sekarang, babi-babi yang dibesarkan dalam penternakan moden dikembang biak dengan kebersihan yang terjamin dan melalui proses sterilisasi yang cukup. Ianya tidak mengandungi bakteria dan cacing pita yang membahayakan kesihatan lagi".

Berkat keluasan ilmu yang dimiliki oleh Tuan Syeikh Imam Muhammad Abduh, beliau meminta mereka untuk membawakan dua ekor ayam jantan dan seekor ayam betina, serta dua ekor babi jantan dan seekor babi betina. Mereka bertanya, " Untuk apa ? Beliau menjawab," Penuhi permintaan saya dan saya akan perlihatkan suatu rahsia yang kamu semua inginkan".
 
Tuan Syeikh Imam Muhammad Abduh menyuruh mereka melepaskan dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling serang. Keduanya berusaha untuk mendapatkan ayam betina dan mempertahankan harga dirinya sehingga salah satu dari keduanya nyaris mati.

Kemudian beliau menyuruh mereka melepaskan dua ekor babi jantan dan babi betina. Kali ini mereka menyaksikan sesuatu yang berbeza. Dua babi jantan itu tidak saling serang dan berkelahi, tapi bekerjasama malah saling bantu-membantu untuk melaksanakan hajat seksual masing-masing, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri untuk menjaga babi betina dari temannya. Dalam benak keduanya muncul sifat jahat untuk merenggut kehormatan sang betina. 

Tuan Syeikh Imam Muhammad Abduh lalu berkata, "Tuan-tuan.. Saksikanlah bintang yang bernama babi ini, betapa ia tidak mempunyai maruah harga diri, tiada kejantanan dan bersifat bacul. Daging babi membunuh 'ghirah' (cemburu) orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya 'bersama' lelaki lain dan membiarkannya tanpa rasa cemburu dan seorang bapa di antara kalian melihat anak perempuannya 'bersama' lelaki asing dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu dan was-was, kerana daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya.” 


SIAPA TUAN SYEIKH IMAM MUHAMMAD ABDUH?

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266H atau 1849M disebuah tempat bernama Sibsyir, Kota Mahallah Nasr, Mesir. Beliau belajar Al-Quran di rumah ayahnya ketika berusia10 tahun dan selesai menghafalnya setelah dua tahun. Beliau juga menimba ilmu di Universiti Al-Azhar.

Beliau juga merupakan anak murid Syeikh Syaid Jamaluddin Al-Afghani dan menuntut berbagai macam ilmu seperti ilmu riyadi, filsafat dan ilmu kalam. Hubungan beliau dan Syeikh Jamaluddin Al-Afghani sangatlah erat. Banyak buku yang telah dibaca dan dikuasai. Kemudian beliau mulai menulis dan menerbitkan buku. Beliau banyak menulis dalam ilmu mantiq dan ilmu kalam. 

Beliau lebih dikenali sebagai pembaharu dalam pemikiran keislaman. Metode yang diambil oleh Imam Muhammad Abduh dalam lapangan ilmu pengetahuan adalah melalui gabungan antara ilmu agama dan imu duniawi. Beliau lebih gemar menggabungkan keduanya asalkan ianya tepat dan tetap melalui jalan yang dianjurkan oleh Islam. 

Beliau meninggal dunia pada tanggal 11 Julai 1905 di Alexandria, dengan mewariskan gedung ilmu yang berharga bagi generasi selanjutnya.
 

 

 MA’RUF AL-KHARQI, SUFI YANG MABUK CINTA ALLAH



Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.






Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”




Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.




Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.




Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.




Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.




Cinta Ilahiah




Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.




Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.




Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.




Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”




Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”




Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.




Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”




Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.




Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”




Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.




“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.




Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”




“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.




Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.




# # # #




Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.




Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”




Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”




Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.

 


0 komentar:

Posting Komentar