Syekh As-Suhrawardi
***********************************
Di
jagat tasawuf, dikenal sebuah paham yang disebut “Isyraq”. Paham ini meyakini,
Allah adalah Nurus Samawati wal Ardi (cahaya langit dan Bumi) sebagaimana
disebut dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 35. Dari Nur Allah itulah lahir
cahaya-cahaya yang lain di alam semesta dan di jagat rohaniah. Paham ini juga
dikenal sebagai paham Iluminatif (pencerah), dan terpengaruh oleh paham-paham
Filsafat. Karena itu Prof. Dr. Hamka menyebutnya sebagai filsafat Isyraq.
Syekh As-Suhrawardi filsuf besar yang pertama kali mencetuskan paham Isyraq.
Ada tiga sufi yang namanya mirip: Syekh As-Suhrawardi, Abu An-Najib
As-Suhrawardi, dan Abu Hafs Syihabuddin As-Suhrawardi Al-Baghdadi, yang
terakhir ini adalah pengarang kitab Awarif al-Maarif.
Syekh As-Suhrawardi yang nama aslinya Abul Futuh Yahya bin Habsyi bin Amrak,
lahir di Suhrawardi, Zanda, Persia utara, pada 549 H / 1129 M. seperti
Al-Hallaj, ia juga di bunuh oleh penguasa. Itu sebabnya ia dijuluki Al-Maqtul
(yang terbunuh).
Syekh As-Suhrawardi lahir di lingkungan keluarga yang taat beribadah. Seperti
halnya sufi atau ulama besar lainnya, sejak kecil ia juga belajar dasar-dasar
ilmu agama, seperti Al-Qur’an dan fikih. Juga seperti sufi yang lain, catatan
perjalanan kehidupannya sangat sedikit diketahui orang. Menurut pengamat sufi
Mehdi Amin Razali, Suhrawrdi hidup di suatu zaman ketika muncul kebutuhan untuk
menyatukan kembali ilmu pengetahuan Islam dengan memadukan berbagai mazhab.
Ditengah perdebatan intelektual itulah muncul pemikiran Suhrawrdi tentang
Isyraq, yang antara lain meyakini bahwa wacana filosofis merupakan bagian dari
perjalanan spritual seseorang.
Dalam buku tokoh-tokoh sufi, tauladan dan kehidupan yang saleh, Prof. Dr. H.
Ahmadi Isa MA, menulis, Suhrawardi terkenal sebagai pengembara yang gandrung
menuntut ilmu. Ia berguru kepada sejumlah ulama dan pakar dalam berbagai ilmu
pengetahuan. Di Marga Azarbaijan, Asia Tengah, ia belajar fikih dan filsafat
kepada Syekh Majduddin Al-Jilli, seorang fukaha yang termasyhur kala itu. Di
Isfahan, Iran, ia belajar Mantiq (logika) kepada Ibnu Shlan As-Sawi pengarang
kitab Al-Basair An-Nasiriyah. Selain itu juga tercatat belajar filsafat India,
Persia dan Yunani. Menurut seorang pengikutnya, pengetahuan Suhrawrdi sangat
dalam, dan sangat menguasai ilmu hikmah alias filsafat dan fikih. Ia juga
sangat fasih dalam ungkapan.
Syekh As-Suhrawrdi merintis perjalanan sufistisnya sejak bergabung dengan para
sufi dalam kehidupan asketisnya. Beberapa tahun bergelut dengan ajaran-ajaran
sufi, setelah itu ia mengembara mengunjungi sejumlah ulama dan pakar di Aleppo
Damaskus, Anatolia, sampai ke Azarbaijan. Terakhir ia melakukan perjalanan ke
Halb, belajar tasawuf kepada sufi besar As-Syafir Iftikharuddin.
Syekh As-Suhrawardi juga termasuk sufi besar yang produktif membukukan
pikiran-pikirannya. Karya-karyanya yang dianggap monumental, antara lain,
Hikmah al-Isyraq. Al-Muqawwamat dan Al-Mutaribat, salah satu kitab yang banyak
diperbincangkan ialah Hikamh al-Isyraq. Memuat berbagai pandangannya perihal
filsafat Isyraq atau Iluminatif. Karya-karyanya yang lain, rata-rata dalam
sebuah kitab yang tipis, Hikayat An-Nur, Alwah wa Imadiyah. Partaw Nama, Fil
I’tikad al-Hukama, Al-Lahamat, Bustan al-Qulub – sebagian besar di tulis dalam
bahasa arab. Sementara karya-karyanya dalam bahasa Persia banyak dipuji sebagai
karya sastra yang indah. Karya yang lain, diantaranya, Aqil Surkh, Awazi Par-I
Jabarail, Al-Qissah Al-Ghurbah al-Gharbiyah, Lugati Muran, Risalah fil Hallah
al-Tufuliyyah, Ruzi Ba Jamaah Sufiyan, Safir Simurg dan Risalah fi Mikraj.
Ada pula karya Syekh As-Suhrawardi, Risalah yang bersifat Filosofis, berupa
terjemahan karya Ibnu Sina, berjudul Risalah Tayr, dan komentar mengenai karya
Ibnu Sina dalam bahasa Persia, Isyraf wa Tanbihat. Juga sebuah risalah berjudul
Risalah fi Haqiqah al-‘Isyq, didasarkan pada karya Ibnu Sina berjudul Risalah
fil ‘Isyq. Ada juga karyanya yang memuat doa, dzikir, wirid, berjudul
Al-Waridat wa Taqdisat.
Banyak pandangan As-Suhrawardi yang di ikuti para sufi, misalnya ucapannya yang
terkenal, “Semua yang menyenangkan anda, seperti hak milik, perabotan dan
kenikmtan duniawi, dan hal-hal yang serupa itu, lemaprkanlah. Jika resep ini
anda ikuti, penglihatan anda akan tercerahkan.” Pandangan lain yang juga
terkenal, “Ketika mata batin terbuka, mata lahir harus di tutup, bibir harus di
kunci, dan lima indra lahir harus dibungkam. Indra batin hendaknya mulai
berfungsi, sehingga jika ia mencapai sesuatu, melakukakannya dengan jasad
batin, jika mendengar, dia mendengar dengan telinga batin.”
Salah satu peristiwa yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Syekh
As-Suhrawardi ialah saat kematiannya. Ia meninggal di tiang gantungan dalam
sebuah upacara pengadilan yang digelar oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, dari
dinasti Bani Saljuk – gara-gara ajarannya dianggap sesat. Di tengah
kemasyhurannya sebagai seorang ulama tasawuf dan cendikiawan,
pendapat-pendapatnya memang sering memancing kontroversi. Seperti
pandangan-pandangan Al-Hallaj maupun Junaid Al-Baghdadi, pendapat Suhrawardi
sering dianggap menyimpang sehingga memancing polemik yang berkepanjangan.
Sebelum di adili, ia dipanggil oleh pangeran Zahir bin Salahuddin Al-Ayyubi
untuk mempertanggung jawabkan ajarannya dalam forum debat terbuka yang dihadiri
Teolog dan Fukaha. Dalam debat itu, ia berhasil mempertahankan argumentasinya,
sehingga pangeran Zahir pun memaafkannya, bahkan belakangan bersahabat
dengannya, tapi akibatnya hal itu memancing rasa iri dan dengki.
Maka berseliweranlah fitnah dan hasutan ke alamat Syekh Suhrawardi. Bahkan ada
yang sempat yang mengirim surat ke Sultan Shalahuddin yang memperingatkan
perihal “Kesesatan” ajaran Syekh As-Suhrawardi. Celakanya sang Sultan malah
memerintakan Pangeran Zahir putranya, agar menghukum
Syekh
As-Suhrawardi. Zahir segera menggelar sidang, membicarakan hukuman bagi sang
sufi, keputusan pun jatuh: Suhrawardi di jatuhi hukuman pancung. Itu terjadi
pada tahun 587 H / 1167 M. ketika Suhrawardi berusia 38 tahun. Mungkin karena
ia korban persekongkolan politik, makamnya pun tidak diketahui.
Tapi, justru karena hukuman itu nama Syekh As-Suhrawardi semakin melejit,
masyarakat menggelarinya dengan sebutan Al-Maqtul (tokoh yang terbunuh). Ia
memang telah dibunuh, jasadnya telah dibuang, tapi pikiran-pikirannya yang
cemerlang tetap hidup hingga kini, bahkan sepanjang zaman.
www.samudra-aceh.blogspot.com
Antara Babi & Ayam - Kisah Para Aulia/Sufi
Tersebut
dalam satu riwayat, pada suatu hari, Tuan Syeikh Imam Muhammad Abduh berkunjung
ke suatu tempat di Perancis. Ketika penduduk disitu mendapat tahu kehadiran
tokoh ilmuwan Islam ini, mereka mengundang beliau untuk menghadiri satu forum
yang disertai oleh penduduk Islam dan bukan Islam disitu.
Para
penduduknya bertanya kepada tokoh ilmuwan Islam ini tentang rahsia diharamkan
babi dalam Islam.
Mereka
berkata, "Umat Islam mengatakan babi itu haram kerana ia memakan sampah
yang mengandung cacing pita, mikrob-mikrob dan bakteria-bakteria lainnya. Namun
sekarang, babi-babi yang dibesarkan dalam penternakan moden dikembang biak
dengan kebersihan yang terjamin dan melalui proses sterilisasi yang cukup.
Ianya tidak mengandungi bakteria dan cacing pita yang membahayakan kesihatan
lagi".
Berkat
keluasan ilmu yang dimiliki oleh Tuan Syeikh Imam Muhammad Abduh, beliau
meminta mereka untuk membawakan dua ekor ayam jantan dan seekor ayam betina,
serta dua ekor babi jantan dan seekor babi betina. Mereka bertanya, "
Untuk apa ? Beliau menjawab," Penuhi permintaan saya dan saya akan
perlihatkan suatu rahsia yang kamu semua inginkan".
Tuan
Syeikh Imam Muhammad Abduh menyuruh mereka melepaskan dua ekor ayam jantan
bersama satu ekor ayam betina. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling
serang. Keduanya berusaha untuk mendapatkan ayam betina dan mempertahankan
harga dirinya sehingga salah satu dari keduanya nyaris mati.
Kemudian
beliau menyuruh mereka melepaskan dua ekor babi jantan dan babi betina. Kali
ini mereka menyaksikan sesuatu yang berbeza. Dua babi jantan itu tidak saling
serang dan berkelahi, tapi bekerjasama malah saling bantu-membantu untuk
melaksanakan hajat seksual masing-masing, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri
untuk menjaga babi betina dari temannya. Dalam benak keduanya muncul sifat
jahat untuk merenggut kehormatan sang betina.
Tuan
Syeikh Imam Muhammad Abduh lalu berkata, "Tuan-tuan.. Saksikanlah bintang
yang bernama babi ini, betapa ia tidak mempunyai maruah harga diri, tiada
kejantanan dan bersifat bacul. Daging babi membunuh 'ghirah' (cemburu) orang
yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian
melihat isterinya 'bersama' lelaki lain dan membiarkannya tanpa rasa cemburu
dan seorang bapa di antara kalian melihat anak perempuannya 'bersama' lelaki
asing dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu dan was-was, kerana daging
babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya.”
SIAPA TUAN SYEIKH IMAM MUHAMMAD ABDUH?
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1266H atau 1849M
disebuah tempat bernama Sibsyir, Kota Mahallah Nasr, Mesir. Beliau belajar
Al-Quran di rumah ayahnya ketika berusia10 tahun dan selesai menghafalnya
setelah dua tahun. Beliau juga menimba ilmu di Universiti Al-Azhar.
Beliau juga merupakan anak murid Syeikh Syaid
Jamaluddin Al-Afghani dan menuntut berbagai macam ilmu seperti ilmu riyadi,
filsafat dan ilmu kalam. Hubungan beliau dan Syeikh Jamaluddin Al-Afghani
sangatlah erat. Banyak buku yang telah dibaca dan dikuasai. Kemudian beliau
mulai menulis dan menerbitkan buku. Beliau banyak menulis dalam ilmu mantiq dan
ilmu kalam.
Beliau lebih dikenali sebagai pembaharu dalam
pemikiran keislaman. Metode yang diambil oleh Imam Muhammad Abduh dalam lapangan
ilmu pengetahuan adalah melalui gabungan antara ilmu agama dan imu duniawi.
Beliau lebih gemar menggabungkan keduanya asalkan ianya tepat dan tetap melalui
jalan yang dianjurkan oleh Islam.
Beliau meninggal dunia pada tanggal 11 Julai
1905 di Alexandria, dengan mewariskan gedung ilmu yang berharga bagi generasi
selanjutnya.
MA’RUF
AL-KHARQI, SUFI
YANG MABUK CINTA ALLAH
Nama sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak, namanya tak sepopuleh Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj, atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma’ruf Al-Kharqi, salah seorang sufi penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti Sarry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap sebagai salah seorang sufi penerus Rabi’ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.
Nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma’ruf bin Firus Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid dinasti Abbasiyah. tak seorangpun menemukan tanggal lahirnya. Perhatikan komentar Sarry As-Saqaty, salah seorang muridnya. “Aku pernah bermimpi melihat Al-Kharqi bertamu di Arasy, waktu itu Allah bertanya kepada Malaikat, siapakah dia? Malaikat menjawab, “Engkau lebih mengetahui wahai Allah,” maka Allah SWT berfirman, dia adalah Ma’ruf Al-Kharqi, yang sedang mabuk cinta kepadaku.”
Menurut Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya, orang tua Ma’ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru sekolahnya berkata, “Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga,” tapi, Ma’ruf membantah, “Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa.
Mendengar jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma’ruf tetap dengan pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma’ruf melarikan diri.
Karena tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma’ruf berkata, “Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut pula.” Ternyata Ma’ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama yang membimbingnya dalam Islam.
Tak beberapa lama, Ma’ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. “Siapakah itu” tanya orang tuanya. “Ma’ruf,” jawabnya. “agama apa yang engkau anut?” tanya orang tuanya. “Agama Muhammad, Rasulullah,” jawab Ma’ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun memeluk Islam.
Cinta Ilahiah
Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Daud A-Tsani, ia membimbing dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.
Menurut Ma’ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika sebelumnya ajaran taawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa akhirat, bagi Ma’ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat (pengenalan) akan Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma’ruf Al-Kharqi yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran tasawuf, bahkan dialah yang mendifinisikan pengertian tasawuf. Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.
Masih menurut Ma’ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya. Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal itu datang dari Tuhan – yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT.
Gambaran tentang Ma’ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi, Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, “Kulihat ada goresan bekas luka di wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat olehku bekas luka. Bekas apakah ini?” Ma’ruf pun menjawab, “Jangan hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang berfaedah bagimu.”
Tapi Manshur terus mendesak. “Demi Allah, jelaskan kepadaku,” maka Ma’ruf pun menjawab. “Kemarin malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi Ka’bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam, aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku lukan.”
Pada suatu hari Ma’ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma’ruf mendesak agar gurunya berdoa kepada Allah sehingga anak-anak muda mendapat balasan setimpal. Maka Ma’ruf pun menyuruh murid-muridnya menengadahkan tangan lalu ia berdoa, “Ya Allah, sebagaimana engkau telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti.” Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. “Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya,” ujar Ma’ruf.
Beberapa saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma’ruf, mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum, dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma’ruf dan bertobat. Lalu kata Syekh Ma’ruf kepada muridnya, “Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun pun juga.”
Ma’ruf mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang Gubernur melihat Ma’ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, “Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?” maka sahut sang kemenakan, “Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin.” Kemudian ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma’ruf. Lalu katanya kepada sang paman, “Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya.” Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.
Suatu hari beberapa orang syiah mendombrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa bin Reza, dan menyerang Ma’ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma’ruf tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry al-Saqati berujar, “Sampaikan wasiatmu yang terakhir,” maka Ma’ruf pun berwasiat. “Apabila aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin mneinggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika dilahirkan dari rahim ibuku.”
Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat ma’ruf tengah memunguti biji-biji kurma.
“Apa yang sedang engkau lakukan?” tanyaku.
Ia menjawab, “Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, “Mengapa engkau menangis?” ia menjawab. “Aku adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu. Anak-anak yang lain memdapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak. Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak,” lalu akupun memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain bersama anak-anak lain.”
“Biarkan aku yang mengurusnya,” kataku.
Akupun membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.
# # # #
Suatu hari Ma’ruf batal wudu. Ia pun segera bertayammum.
Orang-orang yang melihatnya bertanya, “Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?”
Ma’ruf menjawab, “Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu.”
Ketika Ma’ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang bertakziyah, Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para sahabatnya membaca wasiat almarhum: “Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka.” Kemudian orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya. Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.
0 komentar:
Posting Komentar